Kabaroman.com – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa kehadiran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) dapat menjadi kunci percepatan pembiayaan transisi energi di Indonesia. Hal ini mencakup program pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara serta pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Menurut Bhima, mekanisme Danantara memiliki potensi besar untuk menarik investasi asing dan mempercepat realisasi proyek-proyek berkelanjutan.
Saat dihubungi ANTARA di Jakarta pada Senin (tanggal), Bhima menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mempercepat pembiayaan transisi energi adalah dengan mengonsolidasikan aset PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke dalam Danantara. Aset-aset tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan transisi energi. Namun, ia menekankan pentingnya memastikan bahwa aset yang dijaminkan bukan berasal dari PLTU batu bara.
“Yang terpenting adalah aset yang dijaminkan ini adalah aset-aset yang di luar dari aset PLTU batu bara,” ujar Bhima. Ia melanjutkan bahwa dengan dukungan aset dari BUMN lainnya, PLN dapat mengakses investasi dalam jumlah besar. Dengan total aset Danantara yang diproyeksikan mencapai US$900 miliar, badan ini menjadi kendaraan investasi super penting untuk menarik dana asing guna mendukung bisnis dan proyek-proyek berkelanjutan.
Selain transisi energi, Bhima juga menyebut bahwa program-program strategis pemerintah seperti Program 3 Juta Rumah dan program ketahanan pangan dapat dibiayai melalui mekanisme Danantara. “Jadi, Danantara menjadi super investment vehicle atau kendaraan investasi yang sangat penting. Dengan berbagai mekanisme investasinya, diharapkan bisa mendorong percepatan realisasi investasi,” tambahnya.
Bhima menegaskan bahwa masuknya investasi melalui Danantara tidak hanya akan mendorong pembangunan infrastruktur, tetapi juga meningkatkan serapan tenaga kerja di sektor formal. Selain itu, hal ini juga berkontribusi pada peningkatan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi langsung di Indonesia.
Meski demikian, Bhima menyoroti pentingnya tata kelola yang baik dalam pengoperasian Danantara. Pertama, ia menekankan perlunya penerapan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang tinggi. Hal ini karena investor asing, terutama dari negara maju, sangat memperhatikan aspek keberlanjutan dalam proyek-proyek yang mereka danai.
“Mereka tentu melakukan penyamaan standar dulu. Jadi, ESG menjadi standar penting yang harus dikejar. Proyek-proyek yang didanai dan ditawarkan kepada investor haruslah proyek-proyek yang berkelanjutan, proyek-proyek yang hijau,” ujar Bhima.
Kedua, terkait tata kelola termasuk penunjukan direksi Danantara, Bhima menegaskan bahwa proses ini harus bebas dari kepentingan politik atau konflik kepentingan. Direksi yang ditunjuk tidak boleh memiliki saham atau kepentingan di industri yang rawan konflik kepentingan.
“Itu yang harus dijaga, dan juga harus ada tata kelola serta safe guard untuk melindungi dari praktik korupsi, karena nilai aset Danantara juga sangat besar,” ujarnya.
Dengan potensi besar yang dimiliki Danantara, Bhima optimistis bahwa badan ini dapat menjadi motor penggerak percepatan investasi di Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam pengelolaan aset. Jika semua elemen ini dapat diwujudkan, Danantara tidak hanya akan membantu transisi energi, tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan di berbagai sektor strategis.