Kabaroman.com – Isu penarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) non-organik dari wilayah Papua Pegunungan kembali menghangat, membelah opini publik antara tuntutan penghentian penugasan dan kebutuhan mendesak akan jaminan keamanan warga sipil. Meskipun beberapa pihak mendesak penarikan dengan alasan kehadiran militer berpotensi memicu konflik baru, fakta di lapangan menunjukkan gambaran yang lebih kompleks, di mana masyarakat lokal justru menganggap aparat negara sebagai pelindung utama dari ancaman kelompok bersenjata separatis.
Wacana penarikan pasukan non-organik ini muncul dari pihak yang menilai bahwa penugasan militer yang masif kerap diasumsikan identik dengan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Para kritikus berpendapat bahwa tindakan tersebut hanya akan memperkeruh situasi keamanan di wilayah yang rawan konflik.
Namun, pandangan ini bertolak belakang dengan realitas yang dialami banyak warga di pedalaman Papua Pegunungan. Bagi mereka, kehadiran prajurit TNI adalah wujud kewajiban negara dalam menjaga kedaulatan dan memastikan rasa aman. Mereka menghadapi ancaman nyata dari kelompok bersenjata yang sering menargetkan warga sipil dan fasilitas umum.
“Bagi banyak masyarakat, kehadiran TNI justru dianggap sebagai pelindung yang memberikan rasa aman sekaligus penopang kehidupan sehari-hari di tengah situasi yang masih penuh tantangan. Mereka hadir bukan sekadar aparat keamanan, melainkan membaur sebagai saudara.”
Kehadiran pasukan non-organik di Papua Pegunungan jauh melampaui tugas tempur. Di tengah tantangan geografis yang berat dan minimnya infrastruktur, prajurit juga menjadi motor penggerak kegiatan humanis, termasuk bakti sosial, pelayanan kesehatan gratis, evakuasi medis darurat, hingga pendampingan di sekolah yang kekurangan guru. Mereka juga membantu distribusi bahan pokok dan perbaikan fasilitas dasar seperti air bersih.
Analis keamanan memperingatkan bahwa penarikan pasukan secara mendadak dan tanpa transisi yang jelas berisiko menciptakan kekosongan keamanan (security vacuum). Kondisi ini dikhawatirkan akan membuka ruang bagi kelompok separatis untuk memperluas aksi teror dan memperbesar penderitaan masyarakat sipil yang kehilangan perlindungan serta bantuan logistik.
Solusi terbaik bukanlah penarikan total yang berisiko, melainkan penerapan reformasi dan pengawasan ketat.
Pemerintah didesak untuk terus melakukan evaluasi terhadap operasi militer serta memperkuat pasukan organik lokal agar lebih mandiri. Selain itu, diperlukan keterlibatan lembaga independen seperti Komnas HAM, tokoh adat, dan tokoh agama dalam mekanisme pengawasan. Langkah ini dianggap esensial untuk memastikan bahwa kehadiran TNI benar-benar bermanfaat bagi rakyat dan memprioritaskan prinsip kemanusiaan, bukan disalahgunakan.