Junianto Sesa, Merajut Mimpi Anak Papua Lewat Bimbingan Belajar

Kabaroman.com – Pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia bagian timur. Akses sekolah yang terbatas, kualitas pengajar yang belum merata, hingga infrastruktur yang jauh tertinggal membuat banyak anak di wilayah ini harus berjuang ekstra untuk mengejar cita-cita.

Namun, di tengah berbagai keterbatasan itu, muncul secercah harapan: bimbingan belajar (bimbel).

Bagi sebagian orang, bimbel mungkin hanya pelengkap. Tapi di Papua, Sulawesi, dan kawasan timur lainnya, bimbel bisa menjadi penyelamat, penyeimbang, bahkan jembatan menuju masa depan.

Itulah yang diyakini Junianto Sesa, pendiri Pioneer Class, bimbel berbasis di Makassar yang sudah tujuh tahun terakhir mendampingi lebih dari 2.500 siswa dari kawasan timur Indonesia.

Dukungan agar Lepas dari Trauma dan Tak Hidup Merana “Banyak orang berpikir masuk sekolah kedinasan itu harus punya uang banyak. Saya mau buktikan kalau dengan belajar sungguh-sungguh, anak-anak Papua dan Sulawesi juga bisa,” kata Junianto.

Dari Nabire ke Makassar

Junianto merupakan pemuda yang berasal dari pedalaman Nabire, Papua Tengah. Ia lahir dan besar di daerah yang akses transportasinya terbatas, listrik hanya menyala beberapa jam, dan sekolah berkualitas masih jauh dari jangkauan.

“Pesawat seminggu bisa hanya satu-dua kali. Jalan darat sering terputus karena longsor. Sekolah dan guru juga masih terbatas. Saya merasakan betul tertinggal dari teman-teman lain,” kenangnya .

Saat SMP, ia harus berpisah dari orang tua untuk melanjutkan SMA di pusat kabupaten. Prestasinya yang semula pas-pasan perlahan membaik setelah ia ikut bimbel. Dari yang awalnya selalu di peringkat bawah, Junianto berhasil naik ke peringkat dua.

Orang tuanya, terutama sang ayah, tak henti mendorongnya melanjutkan pendidikan tinggi. Dengan segala keterbatasan, Junianto akhirnya menempuh kuliah di Universitas Hasanuddin, Makassar, jurusan Matematika.

Namun hidup sebagai mahasiswa perantauan tidak mudah. Rumah orang tuanya di Nabire sempat terbakar, biaya hidup pas-pasan, hingga sakit yang ia sembunyikan agar tidak menambah beban keluarga. “Saya harus pintar-pintar bertahan,” ujarnya.

Lahirnya Pioneer Class

Sambil kuliah, Junianto mulai mengajar di bimbel. Baginya, mengajar bukan hanya soal mencari penghasilan tambahan, tapi juga cara untuk terus belajar.

Usai lulus, ia sempat kembali ke Papua menjadi guru honorer dengan bayaran Rp 10.000–12.500 per jam.

Namun ia sadar, profesi itu belum bisa menopang hidup. Di sisi lain, ia enggan meninggalkan dunia pendidikan. Berbekal tekad, pada 2018 ia membuka bimbel di Manokwari, Papua Barat, lalu mengembangkan Pioneer Class di Makassar.

Awalnya tidak mudah. Ia mengajar dari rumah ke rumah tanpa kurikulum tetap. Hingga suatu ketika, Akademi Kepolisian membuka pendaftaran.

Junianto meramu metode pembelajaran sendiri. Hasilnya, salah satu siswanya meraih nilai tertinggi usai menjalani tes penerimaan. Sejak saat itulah, nama Pioneer Class makin dikenal.

“Kualitas bimbel bukan ditentukan promosi, tapi hasil nyata. Kalau ada siswa yang berhasil, orang tua dan lingkungan pasti menyebarkan kabar baik itu,” tutur Junianto.

Pendidikan untuk Anak Papua

Perjalanan Junianto juga tak lepas dari beasiswa Tanoto Foundation yang membantunya menempuh kuliah hingga meraih gelar master di Unhas. sembari terus membesarkan Pioneer Class di Makassar.

Menurutnya, anak-anak Indonesia timur, khususnya Papua, memiliki potensi besar. Hanya saja, mereka butuh lebih banyak kesempatan. “Saya ingin adik-adik di Papua bisa merasakan apa yang anak-anak di kota besar rasakan: kesempatan belajar dan meraih mimpi,” ucapnya.

Pesannya sederhana: jangan takut keluar dari zona nyaman. “Anak-anak Papua tidak kalah. Beranilah mengejar pendidikan tinggi. Dunia itu luas,” tegasnya.

Pos terkait