Analisis Yuridis Terhadap Penyelesaian Masalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam Perspektif Keadilan

Oleh : Richard Marihot Butarbutar, Mulyono, Tri Agus Suswantoro (Program Magister Hukum Kesehatan)

Kabaroman.com – Masalah penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) masih menjadi polemik serius di Indonesia. Permasalahan ini mencakup bagaimana regulasi dan implementasi hukum terhadap OPM dapat dilakukan di Papua, serta konsep ideal penegakan hukum dalam perspektif keadilan.

Penelitian yang dilakukan oleh Richard Marihot Butarbutar, Mulyono, dan Tri Agus Suswantoro menganalisis masalah ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan mengkaji berbagai norma hukum yang berlaku dalam perundang-undangan.

Penegakan hukum yang belum optimal terhadap OPM sering kali memicu konflik. Salah satu faktor penyebab ketidakoptimalan ini adalah pemberlakuan hukum adat, meskipun hukum positif seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah mengatur hal tersebut.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan dan implementasi penegakan hukum terhadap OPM harus mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kepatuhan terhadap hukum, kolaborasi dengan pihak terkait, pengembangan solusi jangka panjang, penggunaan kekuatan yang proporsional, dan pengawasan yang efektif.

Idealnya, penegakan hukum terhadap OPM harus sesuai dengan hukum nasional dan internasional, sambil tetap memperhatikan keadilan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, diperlukan sinergi antara pemerintah dan masyarakat Papua serta pengembangan solusi jangka panjang untuk menyelesaikan konflik.

Gerakan separatisme seperti yang dilakukan OPM dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap keamanan negara. Koes Dirgantara dalam penelitiannya menyatakan bahwa Kelompok Separatis Papua (KSP), yang kini disebut OPM, adalah pelaku pemberontakan.

Pemerintah Indonesia saat ini masih mengandalkan tindakan pidana umum dan pasal makar untuk menangani aksi-aksi OPM. Meskipun motif dan dampak dari aksi OPM memenuhi unsur terorisme, penetapan status teroris terhadap OPM dinilai tidak tepat karena latar belakang sejarah dan ketidaksesuaian dengan unsur-unsur dalam UU Pemberantasan Terorisme.

OPM juga dianggap tidak memiliki kesamaan ciri dan operasi dengan organisasi teroris lain di Indonesia seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Serangan OPM lebih bersifat lokal dan bertujuan untuk mendapatkan perhatian pemerintah agar Papua bisa melepaskan diri dari Indonesia.

Penetapan status teroris terhadap OPM juga memicu masalah baru dalam hukum pidana materiil dan formil. Jika OPM ditetapkan sebagai teroris, instrumen hukum yang digunakan akan beralih dari KUHPidana menjadi UU Pemberantasan Terorisme. Pihak yang terlibat dalam penanggulangan separatis adalah Polri dan TNI, sementara untuk terorisme juga melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Solusi yang lebih tepat adalah dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Implementasi penegakan hukum terhadap OPM harus lebih efektif dan berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan HAM, keadilan, dan perdamaian di Papua.

Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, yang disusun dengan partisipasi masyarakat Papua, telah menjadi jawaban legal-formal atas berbagai persoalan. UU Otsus ini mengatur aspek-aspek penting seperti perlindungan hak-hak dasar penduduk asli, demokrasi, HAM, dan penegakan hukum. Dengan pendekatan yang seimbang dan berlandaskan hukum, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih stabil dan damai di Papua, di mana hak asasi manusia dihormati dan konflik dapat diselesaikan secara adil.

Pos terkait