Oleh: SA. Abdurrahman (Studi di Beaconhouse Muscat, Oman)
Kabaroman.com – Tulisan ini akan membahas fakta keliru yang sering muncul seolah-olah Bangsa Papua adalah entitas yang sepenuhnya terpisah dan berbeda dengan Indonesia. Penting untuk menggarisbawahi bahwa narasi semacam ini seringkali didasarkan pada kesalahpahaman sejarah, budaya, dan identitas, yang berpotensi memecah belah dan menghambat upaya pembangunan dan persatuan nasional.
Salah satu fakta keliru yang paling mendasar adalah anggapan bahwa Bangsa Papua tidak memiliki akar sejarah yang kuat dengan kepulauan Indonesia. Sejarah mencatat bahwa wilayah Papua, terutama bagian barat, telah lama menjalin interaksi dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Catatan-catatan kuno, seperti Kitab Negarakertagama yang ditulis pada abad ke-14, telah menyebutkan wilayah Papua sebagai bagian dari pengaruh Majapahit. Interaksi ini tidak hanya sebatas politik, tetapi juga mencakup perdagangan, pertukaran budaya, dan bahkan migrasi. Klaim bahwa Papua benar-benar terisolasi dan terpisah dari peradaban Nusantara adalah penyederhanaan sejarah yang tidak akurat.
Perbedaan fisik dan budaya yang menonjol seringkali dijadikan argumen untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Memang benar, masyarakat Papua memiliki ciri fisik Melanesia dan kekayaan budaya yang sangat beragam, dengan ratusan suku dan bahasa lokal yang berbeda.
Namun, argumen ini gagal memahami esensi keindonesiaan. Indonesia adalah negara kepulauan yang dibangun di atas fondasi keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke, kita melihat spektrum suku, bahasa, agama, dan adat istiadat yang sangat luas.
Orang Dayak berbeda dengan orang Jawa, orang Batak berbeda dengan orang Bugis, dan begitu pula orang Papua berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia. Justru keberagaman inilah yang menjadi kekayaan dan kekuatan Indonesia, sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Menganggap perbedaan budaya sebagai alasan untuk memisahkan diri adalah inkonsisten dengan prinsip dasar negara kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, narasi bahwa Papua dijajah atau dieksploitasi secara sepihak oleh Indonesia juga perlu ditelaah lebih dalam. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ada tantangan dan masalah pembangunan di Papua, termasuk isu keadilan sosial, hak asasi manusia, dan pengelolaan sumber daya alam, permasalahan ini tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk kolonialisme.
Pemerintah Indonesia telah dan terus berupaya melakukan berbagai program pembangunan, memberikan otonomi khusus, dan mengalokasikan dana yang signifikan untuk memajukan Papua. Tantangan yang ada adalah bagian dari kompleksitas pembangunan di negara berkembang, bukan bukti niat jahat untuk menjajah. Fokus seharusnya adalah bagaimana memperbaiki tata kelola, memastikan transparansi, dan melibatkan masyarakat Papua secara aktif dalam setiap kebijakan yang memengaruhi mereka.
Penting untuk diingat bahwa penentuan nasib sendiri (Act of Free Choice) pada tahun 1969, meskipun sering diperdebatkan, adalah proses yang diakui secara internasional dan menjadi dasar hukum bersatunya Papua Barat dengan Indonesia. Terlepas dari kritik terhadap pelaksanaannya, hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tersebut telah mengukuhkan status Papua sebagai bagian integral dari Republik Indonesia di mata hukum internasional.
Sebagai penutup, gagasan bahwa “Bangsa Papua berbeda dengan Indonesia” adalah sebuah fakta keliru yang berbahaya karena berpotensi memecah belah dan mengabaikan sejarah panjang interaksi, serta esensi keberagaman Indonesia. Mengakui perbedaan budaya dan menghargai identitas lokal adalah penting, tetapi ini harus dilakukan dalam kerangka persatuan nasional. Daripada memperuncing perbedaan, fokus harus pada bagaimana membangun Papua yang adil, makmur, dan sejahtera sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia.