Kabaroman.com – Pernikahan telah lama menjadi landasan stabilitas sosial di Oman. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, usia pernikahan terus meningkat, mendorong diskusi di berbagai rumah, tempat kerja, dan forum komunitas.
Bagi banyak anak muda Oman, menunda pernikahan mencerminkan kemandirian, pendidikan tinggi, dan prioritas karier. Bagi yang lain, hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang pembentukan keluarga dan kohesi sosial jangka panjang.
Menurut angka resmi yang dirilis oleh Dewan Peradilan Agung, kantor notaris di seluruh Oman mencatat 14.831 transaksi keluarga antara Januari dan pertengahan September 2025.
Dari jumlah tersebut, 11.514 pernikahan terjadi antara warga negara Oman, sementara 3.317 melibatkan pernikahan warga negara Oman–asing. Selama periode yang sama, tercatat 2.871 kasus perceraian, yang menyoroti peluang sekaligus tantangan dalam lanskap keluarga saat ini.
Di balik statistik tersebut terdapat serangkaian alasan yang kompleks. Meningkatnya biaya hidup tetap menjadi salah satu faktor penghambat terkuat pernikahan dini. Mahar, perayaan pernikahan, dan biaya membangun rumah baru seringkali menimbulkan tekanan finansial.
Dr. Salem al Harthy, seorang konsultan keluarga, mencatat: “Kekhawatiran finansial menjadi inti dari banyak pernikahan yang tertunda. Pinjaman yang diambil untuk menutupi biaya pernikahan dapat menekan hubungan bahkan sebelum dimulai.”
Pendidikan dan aspirasi karier merupakan pendorong lainnya. Generasi sebelumnya memandang pernikahan sebagai fondasi stabilitas, tetapi generasi muda saat ini justru menganggapnya sebagai tonggak yang harus dikejar hanya setelah mencapai tujuan akademis atau profesional.
Noura al Zaidi, seorang spesialis konseling keluarga, menjelaskan: “Sekarang, baik pria maupun wanita menikah hanya setelah lulus universitas atau pascasarjana, hal ini sudah umum. Hal ini menunjukkan visi ke depan, tetapi juga mendefinisikan ulang ekspektasi budaya tentang kapan pernikahan seharusnya terjadi.”
Kisah-kisah pribadi menunjukkan perubahan ini. Layla al Shihi, 29 tahun, memilih menikah hanya setelah menyelesaikan studi pascasarjana. “Saya ingin mengamankan karier saya terlebih dahulu,” ujarnya. “Sekarang saya merasa lebih percaya diri dalam mengelola keluarga dan kehidupan profesional.”
Sebaliknya, Said al Awahi, 34 tahun, tetap melajang, mengatakan, “Pernikahan seringkali terasa seperti kewajiban sosial, alih-alih pencapaian pribadi. Saya percaya setiap orang punya waktunya sendiri, tetapi masyarakat tidak selalu memberi ruang untuk pandangan itu.”
Statistik juga menunjukkan dinamika yang terus berkembang. Sebanyak 3.317 pernikahan campuran yang tercatat tahun ini mencerminkan perkembangan pertukaran budaya di Oman. Meskipun banyak pernikahan campuran yang berhasil, mereka membutuhkan pemahaman yang cermat tentang perbedaan budaya.
“Pernikahan ini dapat memperkaya jika didasarkan pada rasa hormat dan dialog,” kata Salem al Ghassani, seorang konsultan.
Sementara itu, hampir 3.000 kasus perceraian menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas keluarga. Para ahli memperingatkan bahwa terburu-buru menikah tanpa sepenuhnya memahami nilai-nilai pasangan, ditambah dengan tekanan ekonomi, tetap menjadi faktor kunci.
Solusinya, menurut para ahli, terletak pada dukungan, bukan tekanan. Menyederhanakan biaya pernikahan, mempromosikan program kesadaran pranikah, menyediakan bantuan keuangan bagi pasangan, dan mendorong dialog keluarga terbuka adalah beberapa langkah yang sering disarankan.
Seiring Oman bernavigasi antara tradisi dan modernitas, penundaan pernikahan muncul sebagai pilihan pribadi sekaligus tantangan sosial. Yang tetap jelas adalah bahwa memperkuat keluarga melalui ketahanan, kesadaran, dan dukungan kelembagaan akan sangat penting dalam mempertahankan tatanan sosial Oman untuk generasi mendatang.