Sumpah Pemuda bagi Diaspora, Merawat Ikrar dalam Jarak

Oleh: Aprianna (Pengurus IWB Muscat, Oman)

Kabaroman.com – Kita hidup di era di mana batas-batas negara terasa semakin tipis. Media sosial membuat kita tahu apa yang terjadi di Indonesia dalam hitungan detik. Bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang kini berkarya, belajar, atau berkeluarga di perantauan—mulai dari profesional di sektor energi hingga akademisi di universitas kelas dunia—panggilan membangun negeri tidak pernah berhenti. Sumpah Pemuda adalah cetak biru yang mentransformasi kerinduan menjadi tindakan.

Ia mengajarkan kita bahwa kontribusi terbesar saat ini bukan lagi harus pulang, melainkan menjadi duta dan jembatan terbaik bangsa di luar sana. Bagaimana cara kita mengamalkan ikrar suci tahun 1928 itu dengan elegan, efektif, dan tanpa merusak stabilitas yang susah payah dibangun? Mari kita telaah bersama.

Menjadi Duta Bangsa, Menjaga Marwah Tanah Air

Ikrar “Bertanah Air yang Satu” menuntut kita untuk menyadari bahwa setiap perilaku kita di perantauan adalah refleksi langsung dari Indonesia. Kita adalah duta tanpa lencana resmi.

Di mana pun kita berada, entah di tengah gemerlap kota metropolitan atau di balik jendela laboratorium, citra Indonesia ada di tangan kita. Seorang profesional Indonesia yang berintegritas tinggi di Oman, seorang pelajar yang berprestasi di Yaman, atau seorang pekerja terampil yang beretika di Muscat, mereka semua sedang “membangun” citra positif bangsa di mata dunia. Mereka membuktikan bahwa orang Indonesia itu cerdas, profesional, dan dapat dipercaya. Inilah wujud kontribusi yang paling elegan dan efektif: menjaga marwah bangsa agar Indonesia dihormati.

Selain itu, kita bertanggung jawab untuk membawa pulang oleh-oleh terbaik: ilmu mutakhir dan jaringan global. Diaspora yang memilih berkarir di pusat-pusat ilmu pengetahuan dan ekonomi dunia adalah aset strategis bangsa. Sumpah Pemuda memanggil mereka untuk menularkan keahlian global yang didapat.

Energi kontribusi ini bisa diwujudkan dengan menjadi jembatan bagi teknologi dan investasi. Melalui mentoring atau kolaborasi riset, kita bisa memperkuat ekosistem dalam negeri, alih-alih hanya mengirim uang (remitansi). Ini adalah cara terbaik untuk mewujudkan ikrar kebangsaan dengan dampak jangka panjang.

 Persatuan yang Solutif, Bukan yang Destruktif

Ikrar “Berbangsa yang Satu” menuntut kita untuk menyingkirkan sekat-sekat perbedaan dan menyalurkan kepedulian secara dewasa. Kepedulian kita terhadap isu-isu di Tanah Air harus ada, namun cara penyampaiannya perlu diselaraskan dengan semangat persatuan. Jarak tidak lantas membebaskan kita dari tanggung jawab untuk bersikap bijak.

Di sinilah letak ujian sesungguhnya bagi diaspora. Seringkali, aksi unjuk rasa di luar negeri, meskipun berangkat dari niat tulus, justru kontraproduktif secara diplomatik. Aksi semacam itu dapat disalahartikan dan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan stabilitas politik atau ekonomi Indonesia di mata investor global, merusak kepercayaan yang telah susah payah dibangun.

Maka, Sumpah Pemuda mengajak kita menjadi solusionis yang berkelas. Alihkan energi yang mungkin tercurah dalam aksi protes untuk menjadi “aktivis intelektual”. Gunakan kepakaran dan akses kita untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang cerdas, berbasis data, dan terstruktur.

Aspirasi, kritik, dan keprihatinan sebaiknya disalurkan melalui jalur yang terhormat: forum dialog dengan perwakilan pemerintah di KBRI atau KJRI, atau melalui jaringan diaspora yang memiliki akses langsung ke pembuat kebijakan di Jakarta. Ini adalah cara kritik yang paling berdampak: memberikan solusi, bukan hanya keluhan atau kegaduhan. Menjaga stabilitas dan martabat negara di kancah global adalah perwujudan tertinggi dari persatuan kita saat ini.

Bahasa, Rumah yang Memersatukan Rindu

Terakhir, ikrar “Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia” adalah rumah yang selalu kita rindukan. Di tengah riuh bahasa asing, Bahasa Indonesia adalah tali yang paling erat mengikat kita dengan sesama WNI. Ia adalah penguat identitas dan rumah yang selalu tersedia untuk kita kembali, tempat di mana kerinduan akan Tanah Air menemukan bahasanya.

Pada akhirnya, masa-masa merantau adalah fase charging: mengumpulkan pengalaman, modal, dan mental baja. Sumpah Pemuda adalah janji bahwa di mana pun kaki kita melangkah, hati kita tertambat pada merah-putih.

Tugas kita adalah membuktikan bahwa diaspora adalah kekuatan pemuda modern yang berkomitmen untuk membangun Indonesia secara konstruktif, stabil, dan terhormat di panggung global.

Pos terkait