Kabaroman.com – Otonomi khusus bagi Provinsi Papua selalu diiringi harapan besar, terutama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu pilar utamanya adalah pendidikan, dengan alokasi dana signifikan yang diharapkan mampu mengangkat mutu dan infrastruktur pendidikan dari PAUD hingga perguruan tinggi. Namun, di tengah janji manis ini, muncul pertanyaan krusial: apakah otonomi khusus benar-benar menjadi solusi nyata, atau hanya ilusi yang belum sepenuhnya terwujud?
Tujuan otonomi khusus jelas: memberikan kewenangan kepada Papua untuk mengatur kepentingannya sendiri, termasuk bidang pendidikan, demi meningkatkan kualitas hidup dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pemerintah Provinsi Papua bahkan mengklaim alokasi minimal 30% dana otsus untuk pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Angka ini, di atas kertas, terdengar menjanjikan. Dana tersebut semestinya bisa membiayai segala lini pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini, dasar, menengah, hingga non-formal dan perguruan tinggi. Jika berjalan optimal, angka IPM Papua seharusnya melonjak, menandakan peningkatan kesejahteraan yang signifikan.
Namun, realita seringkali tak seindah di atas kertas. Berbagai tantangan masih membayangi implementasi dana otsus di sektor pendidikan. Ketersediaan anggaran yang memadai, meskipun dialokasikan, belum tentu terserap dan terdistribusi secara efektif hingga pelosok. Infrastruktur pendidikan masih banyak yang memprihatinkan, dengan kondisi gedung sekolah yang rusak, fasilitas minim, dan akses yang sulit di daerah terpencil. Lebih jauh, ketersediaan tenaga pendidik yang berkualitas masih menjadi pekerjaan rumah besar. Guru-guru yang kompeten, termotivasi, dan mampu beradaptasi dengan kondisi geografis Papua masih sangat dibutuhkan.
Maka, pertanyaan besar muncul: Apakah dana otsus ini benar-benar menyentuh akar permasalahan pendidikan di Papua? Atau justru terdistribusi tanpa dampak signifikan karena hambatan implementasi yang tak kunjung teratasi? Tanpa pengawasan ketat, transparansi yang terjamin, dan strategi yang tepat sasat, harapan peningkatan kualitas pendidikan bisa jadi hanya berakhir sebagai retorika semata.
Kita semua tentu berharap otonomi khusus ini menjadi kunci bagi peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan masyarakat Papua, serta mampu mengurangi kesenjangan pendidikan dengan daerah lain di Indonesia. Namun, harapan ini tidak akan terwujud tanpa komitmen serius dari semua pihak: pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, hingga tokoh adat. Dana yang besar harus dibarengi dengan manajemen yang akuntabel, program yang tepat sasaran, dan evaluasi berkelanjutan. Hanya dengan demikian, otonomi khusus Papua dapat benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar ilusi.